JAKARTA, KOMPAS.com - Arogansi masih mewarnai wajah aparat keamanan di negeri ini, baik
Tentara Nasional Indonesia maupun Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Arogansi itu ditunjukkan dengan perilaku melanggar hukum dan melakukan
kekerasan di area publik. Perilaku ini menjadi bukti reformasi kultural
di lingkungan TNI dan Polri belum berhasil.
Di lingkungan kepolisian,
kegagalan reformasi kultural menjadikan mereka sebagai institusi yang
otonom, kuat, tetapi represif, tidak kredibel, dan tidak akuntabel.
Komisi
untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat,
sepanjang tahun 2010 terjadi 216 kasus arogansi aparat yang dilakukan
anggota Polri. Pada tahun yang sama, anggota TNI tercatat melakukan 56
perilaku arogan, yang antara lain berwujud penganiayaan, penembakan, dan
intimidasi. Tahun 2011, jumlah perilaku arogan dari aparat, yang
tercatat, meningkat pesat. Kontras mencatat, tahun lalu, jajaran
kepolisian terlibat 657 kasus kekerasan, dan 201 kasus lainnya dilakukan
anggota TNI.
Korban perilaku arogan aparat keamanan itu bukan
hanya warga sipil. Di antara aparat pun menjadi korban. Kasus terakhir,
akhir April lalu, Prajurit Dua Firman dari Batalyon Infanteri 221
Komando Cadangan Strategis TNI Angkatan Darat (Kostrad) Gorontalo tewas
akibat bentrok dengan anggota Polri. Perilaku arogan aparat itu dengan
mudah bisa ditemui di jalanan pula.
Anggapan berprestasi
Kepala
Lembaga Pendidikan Polri Komisaris Jenderal Oegroseno di Jakarta, Sabtu
(5/5/2012), tak menampik masih adanya jajaran kepolisian yang
berperilaku arogan. Hal itu tak bisa dilepaskan dari rendahnya
pendidikan di kalangan anggota kepolisian dan kurangnya pengawasan pada
jajaran di lapangan. Padahal, tugas pokok Polri adalah memelihara
keamanan dan ketertiban.
”Kalau memelihara, mind set yang
perlu ditanamkan pada anggota kepolisian, adalah bagaimana mengayomi,
melindungi masyarakat, dan menjadi teladan,” katanya. Karena itu, lanjut
Oegroseno, penegakan hukum atau tindakan represif sebenarnya merupakan
pilihan terakhir.
Kenyataan di lapangan, tindakan represif lebih
ditonjolkan oleh aparat Polri. Misalnya, penindakan dalam kasus
terorisme. Penanganan kasus premanisme pun melibatkan banyak aparat.
”Itu dianggap prestasi,” ungkap Oegroseno. Aparat yang bekerja keras
menjalin hubungan dengan masyarakat, seperti pembinaan masyarakat,
termasuk menjalin relasi baik dengan jajaran TNI, tidak dianggap
berprestasi.
Akibatnya, kata Oegroseno, jajaran kepolisian di
lapangan cenderung bertindak sendiri, apalagi pengawasan dari atasan di
tingkat perwira masih lemah. Misalnya, peristiwa di Gorontalo. ”Mengapa
anggota Brimob harus berpatroli? Brimob sebenarnya untuk penugasan
khusus, seperti mengamankan konflik atau menjaga daerah yang rawan,”
paparnya lagi.
Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Darat Brigadir
Jenderal Pandji Suko Hari Judho, berulang kali menegaskan, TNI AD pasti
menindak tegas anggotanya yang melanggar hukum. Tak ada prajurit TNI AD
yang kebal hukum, termasuk jika berperilaku arogan kepada masyarakat.
Menteri
Pertahanan Purnomo Yusgiantoro menambahkan, tak ada mental arogan,
termasuk dengan melakukan kekerasan pada masyarakat atau aparat lain,
dalam organisasi TNI. ”Kasus seperti yang disebut insiden koboi
Palmerah, saat seorang perwira TNI AD diduga menganiaya seorang warga,
adalah kasuistis. Ini kasus per kasus, bukan kultur TNI. Saat ini
hubungan petinggi TNI dengan Polri juga baik sehingga tidak ada
ketegangan antarorganisasi,” katanya.
Purnomo menilai, konflik
antara oknum TNI dan oknum anggota Polri bukan karena kelembagaan
keduanya arogan, tetapi bagian dari dinamika menuju demokrasi.
Namun,
sosiolog dari Universitas Indonesia, Tamrin Amal Tomagola dan pengajar
filsafat dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Mudji Sutrisno,
mengingatkan, perilaku arogan aparat di area publik bisa menyebabkan
masyarakat dirundung depresi sosial. Tekanan sosial itu bisa meluas
serta membuat masyarakat melampiaskannya dalam beragam perilaku
anarkistis.
Kegagalan reformasi
Secara
terpisah, Ketua Komisi III (Bidang Hukum) DPR Benny K Harman (Fraksi
Partai Demokrat) di Jakarta, Minggu, menilai, dugaan pelanggaran hukum
dan tindakan arogan oleh oknum aparat TNI dan Polri menunjukkan
kegagalan reformasi kultural di kalangan aparat keamanan. Sebagian
aparat cenderung mengabaikan kontrol publik.
Benny mengakui,
keberhasilan reformasi di kalangan aparat keamanan umumnya masih di
bidang struktur, umpamanya terlihat dalam pemisahan institusi Polri dan
TNI serta peningkatan anggaran keamanan. ”Namun, reformasi kultural
belum berhasil. Di lingkungan kepolisian, kegagalan reformasi kultural
menjadikan mereka sebagai institusi yang otonom, kuat, tetapi represif,
tidak kredibel, dan tidak akuntabel,” ungkapnya.
Dugaan
keterlibatan polisi dalam gerombolan bermotor, yang ”dibalas” oknum
anggota TNI atau bentrokan TNI-Polri di Gorontalo, lanjut Benny, hanya
sebagian persoalan yang muncul di permukaan. Masih banyak aparat
keamanan yang diduga menjadi pelindung kegiatan ilegal.
Wakil
Ketua Komisi I (Bidang Pertahanan dan Keamanan, serta Luar Negeri) DPR
Tb Hasanuddin menduga kurangnya pendidikan hukum menjadi salah satu
sebab terjadinya sikap arogan dari kalangan TNI dan Polri. (ONG/FER/FAJ/NWO/IAM/EDN)
Members of Parliament are fully fix your Banggar institutional corruption, and police do not protect members who violate, in stopped it, there are many good citizens to replace him and so there is a deterrent effect for members of the Police, our suggestion of internal control is still a police action rather than words of words. on the road for sure and certainly a lot of traffic police to hold a pose netted illegal levies on the streets.
BalasHapus